BAB
VIII
1.1 BENTUK
STAKEHOLDER
Ada dua bentuk utama
stakeholder dalam bisnis, yaitu
- Stakeholder primer
Stakeholder primer adalah
pihak dimana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat
bertahan.
Contohnya Pemilik modal
atau saham, kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan pesaing atau
rekanan. Menurut Clarkson, suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan
sebagai suatu system stakeholder primer yang merupakan rangkaian kompleks
hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan,
harapan, dan tanggung jawab yang berbeda. Perusahaan ini juga harus menjalin
relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok ini.
2. Stakeholder
sekunder
Stakeholder sekunder
adalah pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka
tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk
kelangsungan hidup perusahaan.
Contohnya Pemerintah
setempat, pemerintah asing, kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung,
masyarakat. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan
hidupnya, tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu
kelancaran bisnis perusahaan. Pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok
sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat.
1.2 STEREOTYPE,
PREJUDICE, STIGMA SOSIAL
Perusahaan pada dasarnya
adalah suatu bentuk organisasi dengan kebudayaan yang spesifik yang hanya di
miliki oleh perusahaan yang bersangkutan sehingga angota – anggota korporasi
tersebut yang juga anggota sebuah komunitas.
Dalam kaitannya dengan
perbedaan budaya da pola hidup yang ada sebagai lingkungan perusahaan yang
bersangkutan, maka masalah akulturasi menjadi hal yang penting di perhatikan.
Akulturasi atau dalam arti percampuran budaya antara satu komnitas dengan komunitas
lain dapat terjadi ketika anggota komunitas melakukan interaksi sosial yang
intensif.
Penyebaran pengetahuan
budaya dari satu kelompok sosial (termasuk di dalamnya perusahaan) kepada
perusahaan lainya mengandung pengaruh dari kebudayaan tertentu, sehingga
diffusi (Pengaruh) ini dapat menjadi pengetahuan bagi kelompok lainnya.
Dapat kita identifikasi
bahwa dominasi pengaruh global lebih kuat dari pada budaya komunitas indonesia
itu sendiri. Penggunaan budaya dominan akan semakin sering kita akulturasi
budaya terus berjalan dengan baik, kekuatan pengaruh budaya semakin dapat
menjadikan budaya yang dominan sebagai acuan untuk bertindak dan bertingkah
laku.
Lintas budaya menjadi
suatu proses yang umum terjadi, hal ini karena komunikasi sangat mudah
terjangkau, dan interaksi antar kelompok yang berbeda sangat mudah terjadi.
Oleh karena itu segala kegiatan yang menjadi dasar bagi aktivitas perusahaan
yang mengandung proses lintas budaya.
Perbedaan pola hidup akan
menjadi suatu hambatan bagi berjalannya korporasi, masalah – masalah intern
pegawai atau anggota korporasi dapat juga menjadi kendala. Biasanya pegawai
yang berasal dari penduduk lokal sering diidentikan dengan orang yang
malas–malas, tidak mau maju, dsb. Memungkinkan perlunya suatu usaha untuk
melakukan monitoring, evaluasi dan audit sosial terhadap berjalannya korporasi
yang di lakukan oleh orang tertentu yang memang berkeahlian di bidang tersebut.
Dalam interaksi sosial
akan muncul di dalamnya identitas yang mencirikan golongan sosial dari individu
yang bersangkutan berupa atribut – atribut/ciri – ciri, tanda, gaya bicara yang
membedakan dengan atribut dari sukubangsa. Hubungan antar sukubangsa yang ada
dalam wilayah cenderung mengarah pada penguasaan, maka akan muncul stereotype,
prejudice, dan stigma social.
- Stereotype adalah anggapan satu
golongan terhadap golongan lainnya dan biasanya anggapan ini
berkaitan dengan keburukan – keburukan kelompok lain.
- Prejudice merupakan prasangka dari
golongan satu terhadap golongan lainnya.
- Stigma adalah suatu penilaian
dari satu golongan terhadap golongan lainnya untuk ber hati – hati
dan kalau bisa tidak berhubungan dengan golongan lain tersebut.
Stereotype, prejudice dan
stigma sosial muncul karena pengalaman seorang individu dari golongan satu
terhadap golongan lainnya dan kemudian individu tersebut mengabarkan
pengalamannya tersebut. Akibat dari pengetahuan tentang sukubangsa lain
dari golongan sosial lain akan dipakai sebagai referensi dalam
pengetahuan budayanya untuk beradaptasi dengan dengan suku bangsa lain.
1.3 MENGAPA
PERUSAHAAN HARUS BERTANGGUNG JAWAB
Dalam perkembangan
industry di dunia, negara–negara utara ternyata lebih maju dalam percepatan
kemakmuran dari komunitasnya dan ini sangat di rasakan oleh negara–negara
selatan yang notabene adalah negara–negara penghasil. Kemudian ditelaah bahwa
terjadi trickle-down effect yang artinya bahwa hasil–hasil pembangunan
bagi negara–negara selatan lebih banyak di nikmati oleh beberapa gelintir
orang dari kelas–kelas tertentu saja sehingga lebih banyak menyengsarakan
sebagian besar individu dari komunitas kelas di bawahnya.
Dalam pertemuan di Rio de
Janeiro di rumuskan adanya pembangunan yang berkelanjutan yang mencakup
keberlanjutan ekonomi dan keber lanjutan lingkungan. Dalam pertemuan
Yohannesburg mengisyaratkan adanya suatu visi yang sama yaitu di munculkan
konsep social sustainability, yang mengaringi dua aspek sebelumnya (economic
dan environment sustainability). Ketiga aspek ini menjadi patokan bagi
perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social
Responsibility).
Dalam kenyataan, masih
banyak terdapat kesimpangsiuran terdapat kesimpangsiuran dari penerapan ketiga
konsep tersebut dan bahkan cenderung saling tumpang tindih dan bertolak
belakang. Maksudnya adalah ketika menerapkan kebijakan ekonomi dan lingkungan
akan tergantung pada kebijakan social dari kelompok tertentu, sehingga tampak
adanya ketidak serasian antara negara satu dengan negara lainnya dalam
menerapkan kebijakan tersebut dan bahkan antara komunitas satu dengan komunitas
lainnya dalam satu negara mengalami perbedaan pemahaman, sehingga di perlukan
adanya kerja sama antar stakeholder.
Pembangunan yang
berkelanjutan, yang artinya memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengusahan
keberlanjutan pemenuhan kebutuhan bagi generasi selanjutnya. Masalahnya adalah
dalam penerapan ketiga aspek pembangunan berkelanjutan memang secara teoritis
dapat “Mengeram” kerusakan lingkungan dengan adanya aspek social
sustainability.
Sustainable development
menjadi di anggap sesuatu yang maya atau utopia atau sesuatu yang bersifat
teori saja tanpa dapat di implementasikan. Ini semua di sebabkan karena
terabaikannya aspek yang mendasar yaitu manusia (Human) dan komunitas (People).
Dalam World Summit yang lalu, yang di pokuskan adalah kemiskinan (Koperti),
tetapi tidak melihat pada akar permasalahannya karena di bahas melalui
pendekatan makro dan bukan mikro.
Sustainable development
tidak akan berjalan denga baik apabila tidak memperhatikan aspek kemanusiaannya
(Human) dalam konsep sustainable future ini selain dari ketiga aspek (Ekonomi,
Sosial dan Lingkungan) di perlukan satu aspek internal yaitu aspek
keberlanjutan manusia (Human Sustainability) dalam human sustainability yang di
maksud adalah peningkatan kualitas manusia secara etika seperti pendidikan,
kesehatan, rasa empati, saling menghargai dan kenyamanan yang terangkum dalam
tiga kapasitas yaitu spiritual, emosional dan intelektual.
Keberlanjutan dalam
bidang ekonomi, lingkungan dan sosial dapat di lakukan oleh korporsi yang
mempunyai kebudayaan perusahaan sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan (Corporate social Responsibility) Corporate social responsibility
dapat di pahami sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi
secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan
komunitas secara lebih luas (Sankat, Clemen K, 2002). Pengertian ini sama
dengan apa yang telah di telorkan oleh The World Business Council For
Sustainable Development (WBCSD) yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerja dengan para karyawan perusahaan,
keluarga, karyawan tersebut, berikut komunitas–komunitas tempat (Lokal) dan
komunitas secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Secara umum Corporate
Social Responsibility merupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti
adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota komunitas untuk dapat
menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati serta memanfaatkan
lingkungan hidup termasuk perubahan – perubahan yang ada sekaligus memelihara.
Konsep Corpotare Social
Responsibility melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga
sumber daya komunitas, juga komunitas tempat (Lokal) kemitraan ini, tidaklah
bersifat pasif dan statif. Kemitraan ini merupakan taggung jawab bersama secara
sosial antar stakeholder. Konsep kedermawanan perusahaan atau (Corpotare
Philanthtopy) dalam tanggung jawab sosial tidak lagi memadai, karena konsep
tersebut tidak melibatkan kemitraan tanggung jawab perusahaan secara sosial dengan
stakeholders lainnya.
Pengeluaran yang di
lakukan oleh perusahaa untuk pembangunan komunitas sekitarnya terkadang hanya
bersifat formasilme/adhoc tanpa di landasi semangat untuk memandirikan
komunitas.
Menurut The World
Business Council For Sustainable Development (WBCSD) di nyatakan bahwa
Corporate Social Responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja denga para karyawan
perusahaan, keluarga karyawa tersebut, berikut komunitas – komunitas tempat
(Lokal) dan komunitas secaara berkeseluruhan, dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupan.
Kegiatan program yang di
lakukan oleh perusahaan dalam konteks tanggung jawab sosialnya dapat di
katagorisasi dalam tiga bentuk:
- Public Relations
Usaha untuk menanamkan
persepsi positif kepada komunitas tentang kegiatan yang di lakukan oleh
perusahaan.
Contoh dalam koteks
Public Relations adalah program “Couse Related Marketing” yang di jalankan oleh
sebuah perusahaan pakaian.
- Strategi Defensif
Usaha yang di lakukan
oleh perusahaan guna menangkis tanggapan negatif komunitas luas yang sudah
tertanam terhadap kegiatan perushaan terhadap karyawannya, dan biasanya untuk
melawan “Serangan” negatif dari anggapan komunitas atau komunitas yang sudah
terlanjur berkembang.
Contoh kajian
Pricewaterhouse Cooper tentang program CSR, di temukan bahwa sejumlah
perusahaan menjalankan CSR karena ingin menghindari konsekuensi negatif dari
publisitas yang buruk.
- Keinginan Tulus Untuk Melakukan
Kegiatan Yang Baik yang Benar – benar berasal dari visi perusahaan itu.
Melakukan program untuk
kebutuhan komunitas atau komunitas sekitar perusahaan atau kegiatan perusahaan
yang berbeda dari hasil perusahaan itu sendiri.
Contoh seperti tindakan
perusahaan sepatu dengan memberikan obat – obatan kepada mereka yang membutuhkan.
1.4 KOMUNITAS
INDONESIA DAN ETIKA BISNIS
Indonesia memerlukan
suatu bentuk etika bisnis yang sangat spesifik dan sesuai denga model
indonesia. Hal ini dapat di pahami bahwa bila ditilik dari bentuknya, komunitas
Indonesia, komunitas elite, dan komunitas rakyat.
Bentuk – bentuk pola
hidup komunitas di indonesia sangat bervariasi dari berburu meramu sampai
dengan industri jasa.
Dalam suatu kenyataan di
komunitas indonesia pernah terjadi mala petaka kelaparan di daerah Nabire
Papua. Bahwa komunitas Nabire mengkonsumsi sagu, pisang, ubi dan dengan keadaaan
cuaca yang kemarau tanah tidak dapat mendukung pengolahan bagi tanaman ini,
kondisi ini mendorong pemerintah dan perusahaan untuk dapat membantu komunitas
tersebut. Dari gambaran ini tampak bawa tidak adanya rasa empati bagi komunitas
elite dan perusahaan dalam memahami pola hidup komunitas lain.
Dalam konteks yang
demikian, maka di tuntut bagi perusahaan untuk dapat memahami etika bisnis
ketika berhubungan dengan stakeholder di luar perusahaannya seperti komunitas
lokal atau kelompok sosial yang berbeda pola hidup.
Seorang teman Arif
Budimanta mensitir kata–kata sukarno presiden pertama indonesia yang menyatakan
bahwa “tidak akan di serahkan pengelolaan sumber daya alam Indonesia kepada
pihak asng sebelum orang Indonesia mampu mengelolanya”, kalimat ini terkandung
suatu pesan etika bisnis yang teramat dalam bahwa sebelum bangsa Indonesia
dapat menyamai kemampuan asing, maka tidak akan mungkin wilayah Indonesia di
serahkan kepada asing (pengelolaannya).
Jati diri bangsa perlu
digali kembali untuk menetapkan sebuah etika yang berlaku secara umum bagi
komunitas Indonesia yang multikultur ini. Jati diri merupakan suatu bentuk kata
benda yang bermakna menyeluruh sebagai sebuah kekuatan bangsa.
1.5 DAMPAK
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
apabila dilaksanakan dengan benar, akan memberikan dampak positif bagi
perusahaan, lingkungan, termasuk sumber daya manusia, sumber daya alam dan
seluruh pemangku kepentingan dalam masyarakat. Perusahaan yang mampu sebagai
penyerap tenaga kerja, mempunyai kemampuan memberikan peningkatan daya beli
masyarakat, yang secara langsung atau tidak, dapat mewujudkan pertumbuhan
lingkungan dan seterusnya. Mengingat kegiatan perusahaan itu sifatnya simultan,
maka keberadaan perusahaan yang taat lingkungan akan lebih bermakna.
Pada dasarnya setiap
kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam, pasti mengandung
nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan
dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun demikian nilai positif tersebut
dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang
akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan, masyarakat
sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai negatif yang dimaksud
adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang bersangkutan mempunyai potensi
merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau seberapa luas perusahaan lingkungan
terjadi sebagai akibat langsung dari kegiatan perusahaan.
Perusahaan yang pada satu
sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan yang membawa kesejahteraan bahkan
kemakmuran bagi masyarakat, pada satu saat yang sama dapat menjadi sumber
petaka pada lingkungan yang sama pula. Misalnya terjadi pencemaran lingkungan
atau bahkan menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan lain yang lebih luas.
Jadi perusahaan akan
mempunyai dampak positif bagi kehidupan pada masa-masa yang akan datang dengan
terpeliharanya lingkungan dan semua kepentingan pada pemangku kepentingan yang
lain sehingga akan menghasilkan tata kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya para
penentang pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan secara
formal berpendapat apabila tanggung jawab tersebut harus diatur secara formal,
disertai sanksi dan penegakan hukum yang riil. Hal itu akan menjadi beban perusahaan.
Beban perusahaan akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai pemangku
kepentingan. Oleh karena itu tanggung jawab sosial perusahaan sangat tepat
apabila tetap sebagai tanggung jawab moral, dengan semua konsekuensinya.
1.6 MEKANISME
PENGAWASAN TINGKAH LAKU
Mekanisme dalam
pengawasan terhadap para karyawan sebagai anggota komunitas perusahaan dapat
dilakukan berkenaan dengan kesesualan atau tidaknya tingkah laku anggota
tersebut denga budaya yang dijadikan pedoman korporasi yang bersangkutan.
Mekanisme pengawasan tersebut berbentuk audit sosal sebagai kesimpulan dari
monitoring dan evaluasi yang dilakukan sebelumnya.
Monitoring dari evaluasi
terhadap tingkah laku anggota suatu perusahaan atau organisasi pada dasarnya
harus dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan secara berkesinambugan.
Monitoring yang dilakuka sifatnya berjangka pendek sedangkan evaluasi terhadap
tingkah laku anggota perusahaan berkaitan dengan kebudayaan yang berlaku
dilakukan dalam jangka panjang. Hal dari evaluas tersebut menjadi audit sosial.
Pengawasan terhadap tingkah laku dan peran karyawan pada dasarnya untuk
menciptakan kinerja karyawan itu sendiri yang mendukung sasaran dan tujuan dari
proses berjalannya perusahaan. Kinerja yang baik adalah ketika tindakan yang
diwujudkan sebagai peran yang sesuai dengan status dalam pranata yang ada dan
sesuai dengan budaya perusahaan yang bersangkutan.
Oleh karena itu, untuk
mendeteksi apakah budaya perusaaan telah menjadi bagian dalam pengetahuan
budaya para karyawannya dilakukan audit sosal dan sekaligus merencanakan apa
aja yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk menguatkan nilai-nilai yang ada
agar para karyawan sebagai anggota perusahaan tidak memunculkan pengetahuan
budaya yang dimilikinya di luar lingkungan perusahaan.
Dalam kehdupan
komunitas atau komunitas secara umum, mekanismne pengawasan terhadap
tindakan anggota-anggota komunitas biasanya berupa larangan-larangan dan
sanksi-sanksi sosial yang terimplementasi di dalam atura adat. Sehingga tampak
bahwa kebudayaan menjadi sebuah pedoman bagi berjalannya sebuah proses
kehidupan komunitas atau komunitas. Tindaka karyawan berkenaan dengan perannya
dalam pranata sosial perusahaan dapat menen tukan keberlangsungan aktivitas.
Karyawan sebagai stake
holder, terdapat juga para bekas karyawan, para direksi, pemilik modal yg juga
menentukan berjalannya aktivitas pranata sosial perusahaan. Kesemua stakeholder
tersebut menduduki status dan peran tertentu dalam koporasi dan mempunyai
hubungan fungsional satu dengan lainnya.
Pada dasarnya suatu
perusahaan adalah sebuah organisasi yang dalam kenyataannya menempati suatu
wilayah sosial tertentu. Dan sebagai suatu bentuk organisai,korporasi tentunya
mempunyai tujuan yang dapat dipahami secara bersama oleh para anggotanya dan
dapat menjamin kehidupan para anggotanya dalam lingkup organisasi yang
bersangkutan. Perusahaan sebagai bagian dari suatu komunitas dan mempunyai
suatu kebudayaan tersendiri akan mempunyai sifat yang adaptif terhadap
lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial dan budaya yang
ada disekitarnya.
Berjalannya suatu
perusahaan tidak akan lepas dari segala perhitungan dan perencanaan yang
mengatur pola aturan yang ada, seperti halnya pada komuitas lainnya seperti
komunitas suku bangsa. Kehidupan sosial komunitas suku bangsa tersebut dalam
lingkup kecil (Desa/kampung/dusun) dapat dipantau dan di monitor oleh
adat istiadatnya sesuai dengan pranata sosial yang berlaku
(kekerabatan,ekonomi, teknologi, mata pencaharian dsb). Dalam perusahaan,
apa yang dikatakan sebagai proses audit sosial adalah mirip atau sama dengan
cara – cara yang dipakai untuk memeriksa keuangan perusahaan yang bersangkutan.
Sebagai sebuah
organisasi, perusahaan yang mempunyai beberpa tenaga ahli dalam menyiapkan
anggaran–anggaran yang dikelurakan, dan begitu dengan pemerikasaan terhadap
anggaran yang telah dikelurkan berkaitan dengan berjalannya organisasi yang
bersangkutan seperti ahli akuntansi dan pemegang buku.
Tenaga–tenaga ahli
tersebut merupakan individu–individu yang menduduki status tertentu, status
dalam hal ini adalah kumpulan hak dan kewajiban yang ada pada diri seseorang
dalam satu lingkup kebudayaan . Sehingga individu tersebut harus berperan sesui
dengan apa yang diisyratkan oleh kebudayaan yang mengatur status yang bersangutan.
Sehingga pengukuran
finansial sebuah organisasi akan juga dipengaruhi oleh pegawai (tenaga) dari
pengukur tersebut, dan ini sangat terkait dengan sistem sosial dari pegawai
yang bersangkutan. Memang pada dasarnya anggota perusahaan berasal dari anggota
komunitas yang berbeda–beda kebudayaan dan sukubangsa , dan dengan
bersama–bersama dengan orang lain yang berbeda kebudayaan dan sukubangsa
bergabung sebagai satu komunitas perusahaan. Dalam kehidupan komunitas, sistem
sosial akan terus berjalan untuk mengatur segala tingkah laku
individu-individunya.
Berkaitan dengan
pelaksanaan audit sosial, maka sebuah perusahaan atau organisasi harus jelas
terlebih dahulu tentang beberapa aktivitas yang harus dijalankan seperti :
- Aktivitas apa saja yang harus
dilakukan sebagai sebuah orgnisasai, dalam hal ini sasaran apa yang
menjadi pokok dari perusahaan yang harus dituju – internal maupun ekstrnal
(sasaran)
- Bagaimana cara melakukan pencapaian
dari sasaran yang dituju tersebut sebagai rangkaian suatu tindakan
(rencana tindakan) yang mengacu pada suatu pola dan rencana yang sudah
disusun sebelumnya.
- Bagaimana mengukur dan merekam pokok
– pokok yang harus dilakukan berkaitan dengan sasaran yang dituju, dalam
hal ini keluasan dari kegiatan yang dilakukan tersebut (indikator).
Ketiga bentuk aktivitas
tersebut terangkai dalam suatu arena sehingga dengan demikian menjadi sangat
sederhana untuk merancang prosedur bagi pemantuan aktivitas yang bersangkutan,
apa yang terjadi dari hari ke hari dengan memonitor kegiatan dari hari ke hari
oleh pemegang buku catatan sosial.
Sehingga dengan demikian
seorang pemeriksa sosial adalah ‘teman yang mengkritik’ (idealnya oran luar)
yang secara periodik memeriksa ‘buku’ dan menanyakan pertanyaan lebih mendalam
untuk membantu ketentuan organisasi secara sistematis pada tingakat yang
efektif dalam oprasi internalnya sebaik pada dampak eksternalnya dalam
kaitannya dengan kondisi sosial budaya baik secara intern maupun ekstern
korporasi. Dalam pelaksanaan aktivitas dalam organisasi atau perusahaan dapat
dicatat walaupun pada dasarnya ide–ide tersebut bukan berasal dari visi dan
misi dari organisasi atau perusahaan.
Pelaksanaan auditor
sosial yang berpengalaman biasanya akan bekerja mengukur dan memgrahkan
berjalannya sebuah organisasi berdasarkan pada visi dan misi yang ada, pada
awalnya dia membantu dalam memberikan segala keterangan tentang berjalannya
sebuah organisasi berkaitan dengan indikator yang harus diperhatikan, sasaran
yang ingin dicapai dan kemudian juga merekam kenytaan sosial yang sedang
berjalan dan bagaimana prosedur penilaiannya.
Audit sosial ini
merupakan sistem yang ada dalam kebudayaan perusahaan yang oleh anggota
–anggotanya dipakai untuk merencanakan kegiatan organisasi yang bersangkutan
dan tentunya didasari pada kebudayaan yang berlaku di organisasi yang
bersangkutan.
BAB
IX
Peran Sistem Pengaturan,
Good Governance
1.1 Definisi
Pengaturan
Kamus Besar Bahasa
Indonesia
Peraturan adalah
ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan,
tatanan, dan kendalikan tingkah laku yang sesuai dan diterima: setiap warga
masyarakat harus menaati aturan yang berlaku; atau ukuran, kaidah yang dipakai
sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu.
Lydia Harlina Martono
Peraturan merupakan
pedoman agar manusia hidup tertib dan teratur. Jika tidak terdapat peraturan,
manusia bisa bertindak sewenang-wenang, tanpa kendali, dan sulit diatur.
Jadi definisi dari
peraturan adalah suatu perjanjian yang telah dibuat untuk kepentingan umum,
tentang apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
1.2 Karakteristik Good Governance
Dalam hal ini, ada
Sembilan karakteristik good governance dari United Nation Development Program
(UNDP), yakni;
1. Partisipasi
Konsep partisipasi tentu
sejalan dengan system pemerintahan yang demokrasi yang diterapkan di Indonesia.
Partisipasi secara sederhana berarti adanya peran serta dalam suatu lingkungan
kegiatan. Peran serta disini menyangkut akan adanya proses antara dua atau
lebih pihak yang ikut mempengaruhi satu sama lain yang menyangkut pembuatan
keputusan, rencana, atau kebijakan. Tujuan utama dari adanya partisipasi
sendiri adalah untuk mempertemukan kepentingan yang sama dan berbeda dalam
suatu perumusan dan pembuatan kebijakan secara berimbang untuk semua pihak yang
terlibat dan terpengaruh.
2. Rule
of law
Rule of low berarti
penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang buluh, yang mengatur hak-hak
manusia yang berarti adnya supremasi hukum. Menurut Bargir manan (1994).
3. Transparansi
Transparansi berarti
adanya keterbukaan terhadap publik sehingga dapat diketahui oleh pihak yang
berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi badan usaha,
terutama para pemberi pelayanan publik. Transparansi menyangkut kebebasan
informasi terhadap publik. Satu hal yang membedakan organisasi swasta dan
publik adalah dalam masalah transparansi sendiri.
4. Responsif
Responsif berarti cepat
tanggap. Birokrat harus dengan segera menyadari apa yang menjadi kepentingan public
(public interest) sehingga cepat berbenah diri. Dalam hal ini, Birokrasi dalam
memberikan pelayanan publik harus cepat beradaptasi dalam memberikan suatu
model pelayanan.
5. Berorientasi
pada consensus
Berorientasi pada
consensus berarti pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil
kesepakatan bersama diantara para actor yang terlibat. Hal ini sejalan dengan
konsep partisipatif dimana adanya keterlibatan dari masyarakat dalam merumuskan
secara bersama mengenai hal pelayanan publik.
6. Keadilan
Keadilan berarti semua
orang (masyarakat), baik laki-laki maupun perempuan, miskin dan kaya memilik
kesamaan dalam memperoleh pelayanan publik oleh birokrasi. Dalam hal ini,
birokrasi tidak boleh berbuat diskriminatif dimana hanya mau melayani
pihak-pihak yang dianggap perlu untuk dilayani, sementara ada pihak lain yang
terus dipersulit dalam pelayanan bahkan tidak dilayani sama sekali.
7. Efektif
dan efisien
Efektif secara sederhana
berarti tercapainya sasaran dan efisien merupakan bagaimana dalam mencapai
sasaran dengan sesuatu yang tidak berlebihan (hemat). Dalam bentuk pelayanan
publik, hal ini berarti bagaimana pihak pemberi pelayanan melayani masyarakat
seefektif mungkin dan tanpa banyak hal-hal atau prosedur yang sebenarnya bisa
diminimalisir tanpa mengurangi efektivitasnya.
8. Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti
tanggung gugat yang merupakan kewajiban untuk member pertanggungjawaban dan
berani untuk ditanggung gugat atas kinerja atau tindakan dalam suatu
organisasi. Dalam pemberian pelayanan publik, akuntabilitas dapat dinilai sudah
efektifkah prosedur yang diterapkan oleh organisasi tersbut, sudah sesuaikah
pengaplikasiannya, dan bagaiman dengan pengelolaan keuangannya, dan lain-lain.
9. Strategic
vision
Penyelenggara
pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan. Pemerintah dan
masyarakat harus memiliki kesatuan pandangan sesuai visi yang diusung agar
terciptanya keselarasan dan integritas dalam pembangunan, dengan memperhatikan
latar belakang sejarah, kondisi social, dan budaya masyarakat.
1.3 Commission
Of Human Right (Hak Asasi Manusia)
Commission of human right
(Hak asasi manusia) adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia sejak manusia
itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan
kodrat kita sebagai manusia yang hidup, maka bila tidak ada hak tersebut
mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak asasi manusia diperoleh/didapat
manusia dari Penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang
bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apa
pun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia, karna HAM bukan
pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.
Commission of human right
(Hak asasi manusia) ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Menurut UU tersebut, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Setelah perang dunia
kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh
organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of
human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny.
Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum
PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja
panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau
Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal.
Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan
persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu,
setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa setiap
orang mempunyai Hak :
1. Hidup
2. Kemerdekaan
dan keamanan badan
3. Diakui
kepribadiannya
4. Memperoleh
pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan
hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak
bersalah kecuali ada bukti yang sah.
5. Masuk
dan keluar wilayah suatu Negara
6. Mendapatkan
asylum
7. Mendapatkan
suatu kebangsaan
8. Mendapatkan
hak milik atas benda
9. Bebas
mengutarakan pikiran dan perasaan
10. Bebas memeluk
agama
11. Mengeluarkan
pendapat
12. Berapat dan
berkumpul
13. Mendapat jaminan
sosial
14. Mendapatkan
pekerjaan
15. Berdagang
16. Mendapatkan
pendidikan
17. Turut serta
dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
18. Menikmati
kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan
1.4 Kaitannya Good
Governance Dengan Etika Bisnis
1. Code
of Corporate and Business Conduct
Kode Etik dalam tingkah
laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)”
merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode
etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan
praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan
atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam
budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan
perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan
“mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan.
Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat
termasuk kategori pelanggaran hukum.
2. Nilai
Etika Perusahaan
Kepatuhan pada Kode Etik
ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan
reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung
jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder
value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya,
keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku
atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat
dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat
dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan
kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara
lain masalah informasi rahasia dan benturan kepentingan (conflict of
interest).
BAB
X
Memberikan Contoh Tentang
Perilaku Bisnis yang Melanggar Etika
1.1 Korupsi
Seorang siswa yang telah
lulus SMA yang ingin malanjutkan ke sekolah kepolisian. Setelah memalui
beberapa tes ia dinyatakan tidak memenuhi salah satu syarat yang telah di
tetapkan dan dinyatakan tidak dapat lulus dalam tes masuk kepolisian. Namun
siswa tersebut tetap ingin masuk akademi kepolisian. Maka ia menggunakan cara
lain dengan memberikan sejumlah dana yang bahkan telah disepakati oleh pihak
kepolisian yang bersangkutan. Dengan cara tersebut ia berhasil masuk ke dalam
akademi kepolisian.
1.2 Pemalsuan
Sebuah toko online di
suatu daerah menjual berbagai macam jenis gadget. Mereka mengaku menjual gadget
original yang bergaransi resmi dengan harga yang lebih rendah dibandingkan
dengan harga dipasaran. Seorang konsumen yang tergiur dengan harga yang terjangkau
melakukan transakasi jual beli pada toko online tersebut dengan mentransferkan
sejumlah dana yang telah disepakati dan kemudian barang dikirim memalui jasa
ekspedisi langsung ke rumah konsumen tersebut. Seteleh beberapa hari paket pun
diterima. Setelah mengecek barang yang diterima, ternyata tidak sesuai dengan
yang di jelaskan oleh pihak toko online tersebut. Bentik gedget tersebut
menyerupai dengan gedget yang asli namun spesifikasi dalamnya jauh berbeda
dengan yang dijual pada toko resmi.
1.3 Pembajakan
Pada tahun 2007,terdapat
kasus Yayasan Karya Cipta Indonesia melawan PT Telekomunikasi Seluler
(Telkomsel).Dalam perkara tersebut YKCI selaku penggugat menyatakan bahwa karya
cipta lagu yang telah diumumkan oleh Telkomsel dalam bentuk Nada Sambung
Pribadi (NSP) ada lebih dari 1500 karya cipta lagu dalam negeri maupun luar
negeri,Telkomsel tidak melakukan pembayaran royalti kepada YKCI selaku pemegang
hak cipta atas karya lagu-lagu tersebut.
Atas perbuatan
pelanggaran hak cipta ini,YKCI memperhitungkan Telkomsel telah menimbulkan
kerugian materiil bagi YKCI sebesar Rp.78.408.000.000,-.Selain kerugian
tersebut,YKCI menyatakan juga telah kehillangan keuntungan yang seharusnya
diharapkan dan atau didapatkan dari royalti yang tidak dibayarkan.Sehingga YKCI
menuntut Telkomsel untuk membayar secara tunai dan sekaligus kehilangan
keuntungan tersebut sebesar 10 % per bulan dari nilai kerugian materiil.
1.4 Diskriminasi
Gender
Sebuah perushaan sedang
menyelenggarakan pemilihan calon pemimpin direksi penjualan. Setelah dilakuan
seleksi tersisa lah 2 karyawan yang memenuhi syarat untuk menempati kursi
direksi sebagai pemimpin. Karyawan tersebut terdiri dari seorang pria dan
seorang wantita. Namun pada akhirnya yang terpilih adalah karyawan yang pria,
karena perusahan berfikir pria lebih cocok menjadi pemimpin dibandingkan dengan
wanita walaupun skill wanita tersebut lebih unggul dari pria tersebut. Di sini
terlihat jelas suatu diskriminasi gender di lingkungan perusahaan.
1.5 Konflik
Sosial
Konflik ini terjadi pada
tanggal 27 Oktober 2012 hingga 29 Oktober 2012. Yang menjadi penyebab konflik
adalah saat ada dua gadis yang berasal dari Desa Agom diganggu oleh sekelompok
pemuda yang berasal dari desa Balinuraga. Kedua gadis ini sedang naik sepeda
motor kemudian diganggu hingga kedua terjatuh dan mengalami luka-luka. Sontak
kejadian ini memicu amarah dari warga desa Agom. Mereka kemudian mendatangi
Desa Balinuraga yang mayoritas beretnis Bali dengan membawa sajam dan senjata.
Bentrok pun tak terhindarkan hingga menewaskan total 10 orang.
1.6 Masalah
Polusi
Polusi udara di Jakarta
semakin memburuk. Faktor utama memburuknya polusi udara di Jakarta adalah
padatnya transpotasi yang ada dan sedikitnya lahan hijau. Salah satu faktor
yang memperburuk keadaan adalah jeleknya pembakaran bahan bakar pada
transportasi umum terutama bajaj. Hal ini disebabkan karena bajaj yang
digunakan sudah tua dan mesin yang digunakan tidak dapat berkerja secara
maksimal lagi. Untuk menanggulangi hal tersebut mengganti bajaj orange manjadi
bajaj biru yang lebih ramah lingkungan.
Agus Arijanto ; 2011, etika
bisnis bagi pelaku bisnis , Jakarta ; Raja Grafindo Persada
Erni R Ernawan ; 2007,
bussiness etics , alfa beta ; Bandung
Kabartens ; 2000 , etika
bisnis ; Jogjakarta, Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar